Rabu, 09 Januari 2013

MEMBUAT BLOG DI WORDPRESS

unduh...azza   https://www.dropbox.com/s/2hx7z3bkabm5t2y/membuat-blog-di-wordpress.doc

Selasa, 08 Januari 2013

makalah-berpikir kritis dan logis 12-13


PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS


A.      Berpikir Kritis

Definisi berpikir masih diperdebatkan dikalangan pakar pendidikan. Diantara mereka masih terdapat pandangan yang berbeda-beda. Walaupun tafsiran mereka itu berbeda-beda, namun umunya para tokoh pemikir setuju bahwa pemikiran dapat dikaitkan dengan proses untuk membuat keputusan dan menyelesaikan masalah.
Berpikir ialah proses menggunakan pikiran untuk mencari makna dan pemahaman terhadap sesuatu, dengan berbagai kemungkinan idea atau ciptaan dan membuat pertimbangan yang wajar,  membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dan seterusnya membuat refleksi dan terhadap proses yang dialami.
Berpikir ialah kegiatan memfokuskan pada eksplorasi gagasan, memberikan berbagai kemungkinan-kemungkinan dan mencari jawaban-jawaban yang lebih benar.
Dalam konteks pembelajaran, pengembangan kemampuan berpikir ditujukan untuk beberapa hal, diantaranya adalah :
1.)       Latihan berfikir secara kritis dan logis untuk membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dengan bijak, misalnya luwes, reflektif, ingin tahu, mampu mengambil resiko, tidak putus asa, mau bekerjasama dan lain lain,
2.)      Mengaplikasikan pengetahuan, pengalaman dan kemahiran berfikir secara lebih praktik baik di dalam atau di luar sekolah,
3.)      Menghasilkan idea atau ciptaan yang kreatif dan inovatif,
4.)      Mengatasi cara-cara berfikir yang terburu-buru, kabur dan sempit,
5.)      Meningkatkan aspek kognitif dan afektif, dan seterusnya perkembangan intelek mereka.
6.)      Bersikap terbuka dalam menerima dan memberi pendapat, membuat pertimbangan berdasarkan alasan dan bukti, serta berani memberi pandangan dan kritik

Berpikir kiritis berbeda dengan berpikir biasa atau berpikir rutin. Berpikir kritis merupakan proses berpikir intelektual di mana pemikir dengan sengaja menilai kualitas pemikirannya, pemikir menggunakan pemikiran yang reflektif, independen, jernih dan rasional.
Berpikir Kriitis merupakan Proses intelektual yang dengan aktif dan terampil mengkonseptualisasi, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi informasi yang dikumpulkan atau dihasilkan dari pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi, untuk memandu keyakinan dan tindakan (Scriven & Paul, 1992)

Berpikir kritis mencakup keterampilan menafsirkan dan menilai pengamatan, informasi, dan argumentasi. Berpikir kritis meliputi pemikiran dan penggunaan alasan yang logis, mencakup ketrampilan membandingkan, mengklasifikasi, melakukan pengurutan (sekuensi), menghubungkan sebab dan akibat, mendeskripsikan pola, membuat analogi, menyusun rangkaian, memberi alasan secara deduktif dan induktif, peramalan, perencanaan, perumusan hipotesis, dan penyam-paian kritik. Berpikir kritis mencakup penentuan tentang makna dan kepentingan dari apa yang dilihat atau dinyatakan, penilaian argumen, pertimbangan apakah kesimpulan ditarik berdasarkan bukti-bukti pendukung yang memadai.
Berpikir kritis tidak sama dengan berdebat atau mengkritisi orang lain. Kata “kritis” terhadap suatu argumen tidak identik dengan “ketidaksetujuan” terhadap suatu argumen atau pandangan orang lain. Penilaian kritis bisa saja dilakukan terhadap suatu argumen yang bagus, sebab pemikiran kritis bersifat netral, imparsial dan tidak emosional.
Berpikir kritis merupakan keterampilan berpikir universal yang berguna untuk semua profesi dan jenis pekerjaan. Demikian juga berpi-kir kritis berguna dalam melakukan kegiatan membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, berdiskusi, dan sebagainya, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Analisis yang kritis dapat meningkatkan pemahaman tentang suatu masalah. Pemikiran yang analitis, diskriminatif, dan rasional, membantu memilih alternatif solusi yang berguna dan menyingkirkan solusi yang tak berguna. Pemikiran yang reflektif dan independen dapat menghindari keterikatan kepada keyakinan yang salah, sehingga memperkecil risiko untuk pengambilan keputusan salah yang didasarkan pada keyakinan yang salah tersebut.
Berpikir kritis juga berguna untuk mengekspresikan ide-ide. Pemikiran kritis memili-ki peran penting dalam menilai manfaat ide-ide baru, memilih ide-ide yang terbaik, dan memodifi-kasinya jika perlu, sehingga bermanfaat di dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan kreativitas.


Ada 3 syarat diperlukan untuk memiliki kemampuan berpikir kritis:
1. Sikap untuk menggunakan pemikiran yang dalam di dalam melihat suatu permasalahan, dengan menggunakan pengalaman dan bukti yang ada
2. Pengetahuan tentang metode untuk bertanya dan mengemukakan alasan dengan logis
3. Ketrampilan untuk menerapkan metode tersebut

Karakteristik Pemikiran Kritis
Berpikir kritis memerlukan upaya terus menerus untuk menganalisis dan mengkaji keyakinan, pengetahuan yang dimiliki, dan kesimpulan yang dibuat, dengan menggunakan bukti-bukti yang mendukung.
Berpikir kritis membutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi prasangka, bias (keberpihakan), propaganda (misalnya, propaganda perusahaan obat), kebohongan, distorsi (penyesatan), mis informasi (informasi yang salah), egosentris-me, dan sebagainya.
Berpikir kritis mencakup kemampuan untuk mengenali masalah dengan lebih tajam, menemukan cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, mengumpulkan informasi yang relevan, mengenali asumsi dan nilai-nilai yang ada di balik keyakinan, pengetahuan, maupun kesimpulan.
Berpikir kritis mencakup kemampuan untuk memahami dan menggunakan bahasa dengan akurat, jelas, dan diskriminatif (yakni, melihat dan membuat perbedaan yang jelas tentang setiap makna), kemampuan untuk menaf- sirkan data, menilai bukti-bukti dan argumentasi, mengenali ada tidaknya hubungan yang logis antara dugaan satu dengan dugaan lainnya.
Demikian juga berpikir kritis meliputi kemampuan untuk menarik kesimpulan dan generalisasi yang bisa dipertanggungjawabkan, menguji kesimpulan dan generalisasi yang dibuat, merekonstruksi pola keyakinan yang dimiliki berdasarkan pengalaman yang lebih luas, dan melakukan pertimbangan yang akurat tentang hal-hal spesifik dalam kehidupan sehari-hari.

Karakteristik Pemikir Kritis
Berpikir kritis dapat terjadi ketika seorang membuat keputusan atau memecahkan suatu masalah. Ketika seorang mempertimbangkan apa-kah akan mempercayai atau tidak mempercayai, melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan, atau mempertimbangkan untuk bertindak dengan alasan dan kajian yang kuat, maka ia sedang menggunakan cara berpikir kritis.
Seorang yang berpikir kritis akan mengkaji ulang apakah keyakinan dan pengetahu-an yang dimiliki atau dikemukakan orang lain logis atau tidak. Demikian juga seorang yang berpikir kritis tidak akan menelan begitu saja kesimpulan-kesimpulan atau hipotesis yang dikemukakan dirinya sendiri atau orang lain.
Seorang pemikir kritis memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut:
1.  Mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dan masalah penting, merumuskannya dengan jelas dan teliti
2.  Memunculkan ide-ide baru yang berguna dan relevan untuk melakukan tugas. Pemikiran kritis memiliki peran penting untuk menilai manfaat ide-ide baru, memilih ide-ide yang terbaik, atau memodifikasi ide-ide jika perlu
3.  Mengumpulkan dan menilai informasi-informasi yang relevan, dengan menggunakan gagasan abstrak untuk menafsirkannya dengan efektif
4.  Menarik kesimpulan dan solusi dengan alasan yang kuat, bukti yang kuat, dan mengujinya dengan menggunakan kriteria dan standar yang relevan
5.  Berpikir terbuka dengan menggunakan berbagai alternatif sistem pemikiran, sembari      mengenali, menilai, dan mencari hubungan- hubungan antara semua asumsi, implikasi,          akibat-akibat praktis
6.  Mampu mengatasi kebingungan, mampu membedakan antara fakta, teori, opini, dan keyakinan
7. Mengkomunikasikan dengan efektif kepada orang lain dalam upaya menemukan solusi atas masalah-masalah kompleks, tanpa terpengaruh oleh pemikiran orang lain tentang topik yang bersangkutan
8. Jujur terhadap diri sendiri, menolak manipulasi, memegang kredibilitas dan integritas ilmiah, dan secara intelektual independen, imparsial, netral Mengembangkan sifat berpikir kritis

Sifat intelektual seorang perlu dikembangkan dan diasah agar menjadi pemikir yang kritis. Tidak ada resep yang instan untuk mengembangkan sifat-sifat intelektualitas dari seorang pemikir kritis. Sebab berpikir kritis dikembangkan berdasarkan konsep-konsep dan prinsip, ketimbang prosedur yang kaku, atau resep tertentu. Berpikir kritis menggunakan tidak hanya logika (baik logika formal maupun informal), tetapi juga kriteria intelektual yang lebih luas, meliputi kejelasan, kepercayaan (credibility), akurasi, presisi (ketelitian), relevansi, kedalaman, keluasan, dan signifikansi (kemaknaan).
Salah satu cara yang penting untuk mengembangkan sifat-sifat berpikir kritis adalah mempelajari seni untuk menunda penarikan kesimpulan definitif. Caranya adalah menerapkan orientasi persepsi ketimbang menarik kesimpulan final terlalu dini. Sebagai contoh, ketika membaca sebuah novel, menonton film, mengikuti diskusi atau dialog, hindari kecenderungan untuk mengha-kimi atau menarik kesimpulan tetap.
Untuk melatih berpikir kritis, seorang perlu menyadari dan menghindari adanya kecenderungan untuk melakukan kesalahan-kesalahan yang menyebabkan orang tidak berpikir kritis, antara lain sebagai berikut:
1. Dalam suatu argumen terlalu mengeneralisasi posisi atau keadaan. Sebagai contoh, dalam suatu argumen terdapat kecenderungan untuk mengira semua orang tahu, padahal tidak setiap orang tahu. Demikian juga mengira semua orang tidak tahu, padahal ada orang yang tahu. Pemikir kritis berhati-hati dalam menggunakan kata “semua”, atau “setiap”. Lebih aman menggunakan kata “sebagian besar”, atau “beberapa”.
2. Menyangka bahwa setiap orang memiliki bias (keberpihakan) di bawah sadar, lalu mempertanyakan pemikiran refleksif yang dilakukan orang lain. Pemikir kritis harus bersedia untuk menerima kebenaran argumen orang lain. Perdebatan tentang argumen bisa saja menarik, tetapi tidak selalu berarti bahwa argumen sendiri benar.
3.  Mengadopsi pendapat yang ego-sensitif. Nilai-nilai, emosi, keinginan, dan pengalaman seorang mempengaruhi keyakinan dan kemampuan orang untuk memiliki pemikiran yang terbuka. Pemikir kritis harus menying-kirkan kesalahan ini dan mempertimbangkan untuk menerima informasi dari luar
4. Mengingat kembali keyakinan lama yang dipercaya dengan kuat tetapi sekarang dittolak
5. Kecenderungan untuk berpikir kelompok, suatu keadaan di mana keyakinan seorang dibentuk oleh pemikiran orang-orang diseki-tarnya ketimbang apa yang ia sendiri alami atau saksikan

Menurut Perkin (1992), berpikir kritis itu memiliki 4 karakteristik, yakni (1) bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan kita terima atau apa yang akan kita lakukan dengan alasan logis, (2) memakai standar penilaian sebagai hasil dari berpikir kritis dan membuat keputusan, (3) menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan dan menerapkan standar, (4) mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian.
Sedangkan Beyer (1985) mengatakan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan (1) menentukan kredibilitas suatu sumber, (2) membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan, (3) membedakan fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, (5) mengidentifikasi bias yang ada, (6) mengidentifikasi sudut pandang, dan (7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan,
Berpikir kritis dapat diajarkan melalui:(1) perkuliahan, (2) laboratorium, (3) tugas rumah, (4) Sejumlah latihan, (5) Makalah, dan (6) ujian. Dengan demikian berpikir kritis dapat dimasukkan dalam kurikulum dengan mempertimbangkan: (1) siapa yang mengajarkan, (2) apa yang diajarkan, (3) kapan mengajarkan, (4) bagaimana mengajarkan, (5) bagaimana mengevaluasi, dan (6) menyimpulkan.

Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis 
Hanya sedikit hal dalam hidup ini yang berupa hitam dan putih. Sehingga
sangat penting untuk mampu melihat segala sesuatu dari berbagai sisi hingga
mampu mencapai kesimpulan yang logis. Berpikir
kritis sangat penting dalam mempelajari materi baru dan mengaitkannya dengan apa
yang telah kita ketahui. Meskipun tidak mengetahui semuanya, kita dapat
belajar untuk bertanya secara efektif dan mencapai kesimpulan yang konsisten
dengan fakta.
1.        Ketika kita menjumpai fakta, gagasan atau konsep baru, pastikan  kita memahami dan mengetahui istilah-istilah yang ada.
2.        Pelajari bagaimana fakta atau informasi diperoleh. Apakah
diperoleh dari percobaan, apakah percobaan tersebut dilakukan dengan baik dan
bebas bias?
Dapatkah percobaan itu diulangi?
3.        Jangan terima semua pernyataan pada secara seketika. Apakah
sumber informasi tersebut dapat dipercaya?
4.        Pertimbangkan apakah kesimpulan mengikuti fakta? Bila fakta tidak mendukung
kesimpulan, ajukan pertanyaan dan tentukan kenapa demikian. Apakah argumen yang
dipergunakan logis atau mengambang?
5.        Terbuka terhadap gagasan baru.



B.       Berpikir Logis
Secara bahasa Logika berasal Dari bahasa Yunani : Logos (perkataan, alasan, uraian, pemikiran,  yang harus memperhatikan kaidah-kaidah berpikir yang universal).
Logika = Logos + Scientia  : ilmu berpikir
Berpikir : kegiatan mental yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan atau kebenaran.
Secara etimologis berasal dari kata logos (Yunani) berarti akal / pikiran. Sehingga logika banyak diartikan sebagai bidang pengetahuan yang mempelajari tentang bagaimana cara atau aturan berpikir benar.
Sehingga dapat disimpulkan: logika adalah pengetahuan yang mengajarkan tentang cara berpikir untuk mencapai suatu kebenaran yang hakiki (sebenar-benarnya)

Manfaat Logika
Ø  Meningkatkan daya nalar.
Ø  Pengembangan diri sebagai manusia (rasionalitas).
Ø  Sikap kritis (kecenderungan batin untuk mempertimbangkan sedalam-dalamnya setiap gagasan yang dijumpai).
Ø  Logika sebagai ilmu akan membawa manusia kepada prinsip pemikiran yang benar.
Ø  Meningkatkan kemampuan penalaran, sehingga dapat membedakan benar dan salah.
Ø  Akan menyadarkan kita agar waspada terhadap bukti dan alasan yang diajukan.
Ø  Membantu untuk bersifat kritis.

Tujuan Logika
Agar manusia dapat menemukan hukum, patokan, pedoman berpikir, sehingga ia dapat berpikir secara runtut dan tepat.
Runtut artinya ada ketertiban dan keteraturan dalam berpikir .
Tepat berarti tidak terjadi kesesatan dalam berpikir. Sehingga kita akan terhindar dari kekeliruan dalam mengerti, berpendapat dan menyimpulkan sesuatu.
Cara berpikir secara logis terbagi dua, yaitu : induksi dan deduksi
Logika Induktif
Logika induktif digunakan untuk  penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan umum
Contoh suatu pemikiran induksi :
fakta memperlihatkan : kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, begitu pula singa, kucing dan binatang-binatang lainnya. Secara induksi dapat disimpulkan secara umum bahwa: semua binatang mempunyai mata.
Logika deduktif
Penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi khusus yang bersifat individual.
Contoh suatu pemikiran deduksi :
            contoh berikut memakai pola berpikir yang dinamakan silogismus, suatu pola berpikir yang sering dipakai dalam menarik kesimpulan secara deduksi.
Ø  Semua mahluk mempunyai mata        (Premis mayor)
Ø  Si Polan adalah seorang mahluk         (Premis minor)
Ø  Jadi si Polan mempunyai mata            (Kesimpulan)

Penarikan kesimpulan secara deduksi harus memenuhi syarat:
Premis mayor harus benar
Premis minor harus benar
Kesimpulan harus sahih (mempunyai keabsahan)

photos kegiatan d sekolah







Selasa, 18 Desember 2012

Video acara perpisahan 2010


Sejarah Pekembangan Ilmu Ushul Fikih


 BAB I
PENDAHULUAN


          Ushul fiqh merupakan suatu ilmu yang berisikan tentang kaidah yang menjelaskan cara-cara mengistimbatkan hukum dari dalil-dalilnya. Melalui ushul fiqh, mujtahid mampu mengistimbat hukum islam dari sumber utamanya, yaitu Al-Quran dan Sunnah secara benar. Melalui dari dalil-dalil yang ada dalam kajian ushul fiqh, seperti qiyas, istihsan, istishab, 'urf dapat dijadikan landasan menetapkan persoalan yang hukum nya tidak dijelaskan langsung oleh nash. Bahkan, dengan ilmu ini dapat dicarikan jalan keluar menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatan bertentangan satu sama lain.
     Dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rosulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
          Secara praksis, ilmu ushul fiqh lahir bersama ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh lebih dahulu dari ushul fiqh. Secara teoritis seharusnya ushul fiqh lebih awal dari ilmu fiqh, karena ushul fiqh merupakan dari metode dari ilmu fiqh. Namun, kenyataannya, ushul fiqh disusun secara sistematis belakangan.
       Ilmu Fiqh telah lahir sejak periode sahabat, yaitu sesudah Nabi saw wafat. Sejak saat itu, ushul fiqh sudah digunakan para sahabat dalam melahirkan fiqh, meskipun ilmu tersebut belum dinamakan ushul fiqh. Dengan menggunakan pendekatan maslahah, umar menghentikan pemberian zakat kepada para muallaf yang pada masa nabi dan abu bakar diberikan. Dalam pemahaman umar, mereka diberi zakat untuk membujuk hati mereka agar memeluk dan komitmen kepada islam. Zaman telah berubah, alasan tersebut tidak terwujud lagi oleh sebab itu muallaf tidak diberikan bagian zakat. Islam telah dimuliakan allah tidak butuh kepada muallaf.
     Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konsekuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu. ( Abu Zahro : 12 ).
     Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa Al- Aimmat Al- Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga semakin jelas bentuknya bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat dipercaya dari pada hadis ahad (Abu Zahro: 12).
     Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw,sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri















BAB II
PEMBAHASAN


A.           Sejarah Perkembangan Ilmu Ushul Fiqh

A.1    Ushul Fiqh Masa Rasulullah

     Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rasulullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
                   Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:

“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.”
(HR. Abu Daud dari Ummu Salamah)

                   Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat Islam. Hadits tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi, menunjukkan perijinan yang luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi.      Ketika seorang sahabat, misalnya, dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Alquran atau mencari jawaban dari Rasulullah, maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari Alquran atau bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh. Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah sendiri.          
                   Rasulullah dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari.
                   Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala. (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan al-Nasa’I dari Abu Sa‘id al-Khudri)  
                   Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut.
       Tidak hanya prototipe ijtihad, prototipe qiyas pun sudah ada pada masa Rasulullah. Kisah berikut menjadi contoh bagaimana qiyas dilakukan oleh Rasulullah.
                   Suatu saat seorang perempuan datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa ibunya meninggal dunia dengan meninggalkan hutang puasa satu bulan. Rasulullah pun kemudian berkata:

أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ. فَقَالَتْ : نَعَمْ فَقَالَ : دَيْنٌ اللَّهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ
“Bagaimana seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau membayarkannya?” Perempuan tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah berkata: “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan”.(Hadits diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dari Ibnu Abbas. Hadits dengan makna yang sama diriwayatkan oleh Muslim.)

            Terhadap pertanyaan perempuan yang datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan terhadap hutang piutang. Jadi, hukum hutang puasa orang tua yang meninggal dunia disamakan dengan hukum hutang piutang harta. Kasus tersebut menjadi bentuk dasar qiyas, yang dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku oleh Imam Syafi’i.
            Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan penggunaannya pada masa Rasulullah. Semua itu belum menjadi konsep baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan masalah praktis.

          A.2   Ushul Fiqh Masa Sahabat
                   Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu Alquran, As-Sunnah, dan Ra’yu (nalar). Petunjuk paling jelas terhadap tiga sumber tersebut tampak dalam riwayat berikut:

   عَنْ مُعَاذٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟. قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى كِتَابِ اللَّهِ؟ قَالَ : أَقْضِى بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ..قَالَ : أَجْتَهِدُ بِرَأْيِى لاَ آلُو. قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ فِى صَدْرِى وَقَالَ : الْحَمْدُ للَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ.
Dari Muadz: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana kau memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diridloi Rasulullah.” (HR.Al-Baihaqi. Riwayat yang hampir sama isi dan redaksinya juga dimuat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi)

                   Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri.
                   Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat.
                   Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima.
                   Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
                   Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahat tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.  
                   Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh Alquran dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah 228.

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru‘”

                   Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci. Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
                   Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumantasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.

          A.3    Ushul Fiqh Masa Tabi’in
                   Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing.
                   Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn Katsir.  
                   Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting:
  1. Pemalsuan hadits
  2. Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan  kelompok Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits)

                   Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah geografis.  Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab, melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.  

B.            Aliran-Aliran dalam Ilmu Ushul Fiqh
                   Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak mandeg, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan  aliran fukaha (Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:
1.         Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya, dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi.
       Aliran mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat lintas madzhab.

2.        Aliran Hanafiyah   
            Aliran Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi. Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh yang khas madzhab Hanafi.
            Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata.
            Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Kitab-kitab ushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain:
1.        al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran.
2.        Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
3.        Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
4.        Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)

3.        Aliran Gabungan
            Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
            Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi.  
              Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al-Syariah.  

4.        Ulama-Ulama Madzhab dan Kitab-kitab Rujukan Usul Fiqh

A.       Ulama-Ulama Madzhab Syafi’iyyah dan Kitab-kitab Rujukan Usul Fiqh
o      Ar-Risalah karangan As-Syafi'i.
o      Luma’ karya al-Syirazi,
o      Al-Mustashfa karya al-Ghazali,
o      Al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi,
o      Al-Burhan dan al-Waraqat karya Al-Juwayni,
o      Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya Al-Amidi,
o      Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya Al-Baidlawi

B.       Ulama-Ulama Madzhab Hanbali dan Kitab-kitab Rujukan Usul Fiqh
o      Al-Uddah  Karya Abu Ya’la
o      Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir Karya Ibnu Qudamah
o      Al-Musawwadah 3)     Karya Keluarga Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah beserta ayah dan kakeknya
o      Mukhtashar al-Rawdlah dan Syarh Mukhtashar al-Rawdlah Karya            Najm al-Din al-Thufi

       C. Ulama-Ulama Madzhab Maliki dan Kitab-kitab Rujukan Usul Fiqh

o      Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi Ilmay al-Ushul wa al-          Jadal) Karya Ibnu Hajib

       D. Ulama-Ulama Madzhab Hanafi dan Kitab-kitab Rujukan Usul Fiqh
o      Al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash
o      Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
o      Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
o      Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)
o      Jam’ul Jawami karya Tajuddin Abd Wahab

5.        Hubungan Antara Ushul Fiqih Dengan Cabang-Cabang ilmu Terkait
Setiap suatu pembahasan ilmu dalam islam senantiasa berhubungan dengan ilmu-ilmu lain yang dapat mendukung berdirinya ilmu tersebut, dan ilmu-ilmu yang mendukung itupun tidak dapat berdiri sendiri.
            Untuk memperdalam suatu ilmu diperlukan bekal yang cukup oleh ilmu-ilmu lain, untuk mempermudah dalam mempelajarinya, begitu pula halnya dengan ilmu ushul fiqih. Ilmu yang dapat membantu ilmu ushul fiqih adalah :
a.       Ilmu Bahasa Arab
Ilmu Ushul Fiqh bersumber dari Bahasa Arab, karena ilmu ini mempelajari teks-teks yang ada di dalam Al Qur’an dan Al Hadits yang keduanya menggunakan bahasa Arab. Maka otomatis jika tidak mengetahui seluk beluk bahasa arab , dalam mempelajari dan mendalami ushul fiqih pun tidak akan sempurna.


b.      Ilmu Tafsir
                         Jika seseorang yang telah mengetahui seluk beluk bahasa arab, maka ia akan dengan mudah mempelajari Al-Qur’an dengan memperbandingkan berbagai macam tafsiran ayat Qur’an, akhirnya uhul fiqih pun akan dengan mudah dipahami karena telah mengetahui bunyi lafadz dan makna dalam Al-Qur’an dari segi arah dan tujuan.
c.       Ilmu Tauhid
            Orang yang dangkal  keimannnya (ketauhidannya)akan  ungkin tergelincir kepada hal-hal yang menyalahi hokum atau pembelokan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kehendak haawa nafsunya, maka ilmu tauhid akan dapat menjadi bekal dalam mengarahkan mereka kepada yang dikehendaki syara’
d.      Ilmu Fiqih
            Ilmu Fiqih adalah produk dari ushul fiqih, maka dengan adanya ilmu ushul fiqih setiap amal perbuatan manusia (amaly) dapat diketahui hukumnya



























BUKU LITERATUR



Abdul Wahhab Khallaf, “ Ilmu Ushul Fiqih”, Semarang: Dina Utama,1994
Drs. Deding Siswanto,”Ushul Fiqih untuk MA kelas II”,Bandung:Armico, 1990
Imam Muhammad Abu Zahroh,”Ushuil Fiqih”,Cairo:Dar al-fikr al-‘Arabi, 1958
Drs. Deding Siswanto,”Tarikh Tasyri” untuk MA kelas III”,Bandung:Armico, 1990
Prof.Dr.Mukhtar Yahya, Prof.Drs.Fatchurrahman, “Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung:PT.Al-ma’arif,1983
Drs.Dede Rosyada,MA,”Hukum Islam dan Pranata Sosial”,Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.1994
Drs.H.A. Djazuli, “ Ilmu fiqih (Sebuah Pengantar)”,Bandung:PD.Percetakan Orba Shakti.1992