TEKS PIDATO
HERI SAM75@BLOG
Jumat, 30 September 2016
Rabu, 09 Januari 2013
MEMBUAT BLOG DI WORDPRESS
unduh...azza https://www.dropbox.com/s/2hx7z3bkabm5t2y/membuat-blog-di-wordpress.doc
Selasa, 08 Januari 2013
makalah-berpikir kritis dan logis 12-13
PENGEMBANGAN
KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS
A.
Berpikir Kritis
Definisi
berpikir masih diperdebatkan dikalangan pakar pendidikan. Diantara mereka masih
terdapat pandangan yang berbeda-beda. Walaupun tafsiran mereka itu
berbeda-beda, namun umunya para tokoh pemikir setuju bahwa pemikiran dapat
dikaitkan dengan proses untuk membuat keputusan dan menyelesaikan masalah.
Berpikir
ialah proses menggunakan pikiran untuk mencari makna dan pemahaman terhadap
sesuatu, dengan berbagai kemungkinan idea atau ciptaan dan membuat pertimbangan
yang wajar, membuat keputusan dan
menyelesaikan masalah dan seterusnya membuat refleksi dan terhadap proses yang
dialami.
Berpikir
ialah kegiatan memfokuskan pada
eksplorasi gagasan, memberikan berbagai kemungkinan-kemungkinan dan mencari
jawaban-jawaban yang lebih benar.
Dalam
konteks pembelajaran, pengembangan kemampuan berpikir ditujukan untuk beberapa
hal, diantaranya adalah :
1.)
Latihan berfikir secara kritis dan logis untuk
membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dengan bijak, misalnya luwes,
reflektif, ingin tahu, mampu mengambil resiko, tidak putus asa, mau bekerjasama
dan lain lain,
2.)
Mengaplikasikan
pengetahuan, pengalaman dan kemahiran berfikir secara lebih praktik baik di
dalam atau di luar sekolah,
3.)
Menghasilkan
idea atau ciptaan yang kreatif dan inovatif,
4.)
Mengatasi
cara-cara berfikir yang terburu-buru, kabur dan sempit,
5.)
Meningkatkan
aspek kognitif dan afektif, dan seterusnya perkembangan intelek mereka.
6.)
Bersikap
terbuka dalam menerima dan memberi pendapat, membuat pertimbangan berdasarkan
alasan dan bukti, serta berani memberi pandangan dan kritik
Berpikir
kiritis berbeda dengan berpikir biasa atau berpikir rutin. Berpikir kritis
merupakan proses berpikir intelektual di mana pemikir dengan sengaja menilai
kualitas pemikirannya, pemikir menggunakan pemikiran yang reflektif, independen,
jernih dan rasional.
Berpikir
Kriitis merupakan Proses intelektual yang dengan aktif dan terampil
mengkonseptualisasi, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi
informasi yang dikumpulkan atau dihasilkan dari pengamatan, pengalaman,
refleksi, penalaran, atau komunikasi, untuk memandu keyakinan dan tindakan
(Scriven & Paul, 1992)
Berpikir kritis
mencakup keterampilan menafsirkan dan menilai pengamatan, informasi, dan
argumentasi. Berpikir kritis meliputi pemikiran dan penggunaan alasan yang
logis, mencakup ketrampilan membandingkan, mengklasifikasi, melakukan
pengurutan (sekuensi), menghubungkan sebab dan akibat, mendeskripsikan pola,
membuat analogi, menyusun rangkaian, memberi alasan secara deduktif dan
induktif, peramalan, perencanaan, perumusan hipotesis, dan penyam-paian kritik.
Berpikir kritis mencakup penentuan tentang makna dan kepentingan dari apa yang
dilihat atau dinyatakan, penilaian argumen, pertimbangan apakah kesimpulan
ditarik berdasarkan bukti-bukti pendukung yang memadai.
Berpikir kritis
tidak sama dengan berdebat atau mengkritisi orang lain. Kata “kritis” terhadap
suatu argumen tidak identik dengan “ketidaksetujuan” terhadap suatu argumen
atau pandangan orang lain. Penilaian kritis bisa saja dilakukan terhadap suatu
argumen yang bagus, sebab pemikiran kritis bersifat netral, imparsial dan tidak
emosional.
Berpikir kritis
merupakan keterampilan berpikir universal yang berguna untuk semua profesi dan
jenis pekerjaan. Demikian juga berpi-kir kritis berguna dalam melakukan
kegiatan membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, berdiskusi, dan sebagainya,
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Analisis yang kritis dapat
meningkatkan pemahaman tentang suatu masalah. Pemikiran yang analitis,
diskriminatif, dan rasional, membantu memilih alternatif solusi yang berguna
dan menyingkirkan solusi yang tak berguna. Pemikiran yang reflektif dan
independen dapat menghindari keterikatan kepada keyakinan yang salah, sehingga
memperkecil risiko untuk pengambilan keputusan salah yang
didasarkan pada keyakinan yang salah tersebut.
Berpikir kritis juga
berguna untuk mengekspresikan ide-ide. Pemikiran kritis memili-ki peran penting
dalam menilai manfaat ide-ide baru, memilih ide-ide yang terbaik, dan
memodifi-kasinya jika perlu, sehingga bermanfaat di dalam melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan kreativitas.
Ada 3 syarat diperlukan
untuk memiliki kemampuan berpikir kritis:
1. Sikap untuk menggunakan pemikiran yang dalam di dalam melihat
suatu permasalahan, dengan menggunakan pengalaman dan bukti yang ada
2. Pengetahuan tentang metode untuk bertanya dan mengemukakan
alasan dengan logis
3. Ketrampilan untuk menerapkan metode tersebut
Karakteristik Pemikiran Kritis
Berpikir kritis
memerlukan upaya terus menerus untuk menganalisis dan mengkaji keyakinan,
pengetahuan yang dimiliki, dan kesimpulan yang dibuat, dengan menggunakan
bukti-bukti yang mendukung.
Berpikir kritis
membutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi prasangka, bias (keberpihakan),
propaganda (misalnya, propaganda perusahaan obat), kebohongan, distorsi
(penyesatan), mis informasi (informasi yang salah), egosentris-me, dan
sebagainya.
Berpikir kritis mencakup
kemampuan untuk mengenali masalah dengan lebih tajam, menemukan cara yang dapat
dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, mengumpulkan informasi yang
relevan, mengenali asumsi dan nilai-nilai yang ada di balik keyakinan,
pengetahuan, maupun kesimpulan.
Berpikir kritis
mencakup kemampuan untuk memahami dan menggunakan bahasa dengan akurat, jelas,
dan diskriminatif (yakni, melihat dan membuat perbedaan yang jelas tentang setiap
makna), kemampuan untuk menaf- sirkan data, menilai bukti-bukti dan
argumentasi, mengenali ada tidaknya hubungan yang logis antara dugaan satu
dengan dugaan lainnya.
Demikian juga berpikir
kritis meliputi kemampuan untuk menarik kesimpulan dan generalisasi yang bisa
dipertanggungjawabkan, menguji kesimpulan dan generalisasi yang dibuat,
merekonstruksi pola keyakinan yang dimiliki berdasarkan pengalaman yang lebih
luas, dan melakukan pertimbangan yang akurat tentang hal-hal spesifik dalam
kehidupan sehari-hari.
Karakteristik Pemikir Kritis
Berpikir kritis dapat
terjadi ketika seorang membuat keputusan atau memecahkan suatu masalah. Ketika
seorang mempertimbangkan apa-kah akan mempercayai atau tidak mempercayai,
melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan, atau mempertimbangkan untuk
bertindak dengan alasan dan kajian yang kuat, maka ia sedang menggunakan cara
berpikir kritis.
Seorang yang berpikir
kritis akan mengkaji ulang apakah keyakinan dan pengetahu-an yang dimiliki atau
dikemukakan orang lain logis atau tidak. Demikian juga seorang yang berpikir
kritis tidak akan menelan begitu saja kesimpulan-kesimpulan atau hipotesis yang
dikemukakan dirinya sendiri atau orang lain.
Seorang pemikir kritis
memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut:
1. Mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dan masalah penting,
merumuskannya dengan jelas dan teliti
2. Memunculkan ide-ide baru yang berguna dan relevan untuk
melakukan tugas. Pemikiran kritis memiliki peran penting untuk menilai manfaat
ide-ide baru, memilih ide-ide yang terbaik, atau memodifikasi ide-ide jika
perlu
3. Mengumpulkan dan menilai informasi-informasi yang
relevan, dengan menggunakan gagasan abstrak untuk menafsirkannya dengan efektif
4. Menarik kesimpulan dan
solusi dengan alasan yang kuat, bukti yang kuat, dan mengujinya dengan
menggunakan kriteria dan standar yang relevan
5. Berpikir terbuka dengan menggunakan berbagai
alternatif sistem pemikiran, sembari mengenali,
menilai, dan mencari hubungan- hubungan antara semua asumsi, implikasi, akibat-akibat praktis
6. Mampu mengatasi kebingungan, mampu membedakan antara
fakta, teori, opini, dan keyakinan
7. Mengkomunikasikan dengan
efektif kepada orang lain dalam upaya menemukan solusi atas masalah-masalah
kompleks, tanpa terpengaruh oleh pemikiran orang lain tentang topik yang
bersangkutan
8. Jujur terhadap diri
sendiri, menolak manipulasi, memegang kredibilitas dan integritas ilmiah, dan
secara intelektual independen, imparsial, netral Mengembangkan
sifat berpikir kritis
Sifat
intelektual seorang perlu dikembangkan dan diasah agar menjadi pemikir yang
kritis. Tidak ada resep yang instan untuk mengembangkan sifat-sifat
intelektualitas dari seorang pemikir kritis. Sebab berpikir kritis dikembangkan
berdasarkan konsep-konsep dan prinsip, ketimbang prosedur yang kaku, atau resep
tertentu. Berpikir kritis menggunakan tidak hanya logika (baik logika formal
maupun informal), tetapi juga kriteria intelektual yang lebih luas, meliputi
kejelasan, kepercayaan (credibility), akurasi, presisi (ketelitian), relevansi,
kedalaman, keluasan, dan signifikansi (kemaknaan).
Salah satu cara
yang penting untuk mengembangkan sifat-sifat berpikir kritis adalah mempelajari
seni untuk menunda penarikan kesimpulan definitif. Caranya adalah menerapkan
orientasi persepsi ketimbang menarik kesimpulan final terlalu dini. Sebagai
contoh, ketika membaca sebuah novel, menonton film, mengikuti diskusi atau
dialog, hindari kecenderungan untuk mengha-kimi atau menarik kesimpulan tetap.
Untuk melatih
berpikir kritis, seorang perlu menyadari dan menghindari adanya kecenderungan
untuk melakukan kesalahan-kesalahan yang menyebabkan orang tidak berpikir
kritis, antara lain sebagai berikut:
1. Dalam suatu argumen
terlalu mengeneralisasi posisi atau keadaan. Sebagai contoh, dalam suatu
argumen terdapat kecenderungan untuk mengira semua orang tahu, padahal tidak
setiap orang tahu. Demikian juga mengira semua orang tidak tahu, padahal ada
orang yang tahu. Pemikir kritis berhati-hati dalam menggunakan kata “semua”,
atau “setiap”. Lebih aman menggunakan kata “sebagian besar”, atau “beberapa”.
2. Menyangka
bahwa setiap orang memiliki bias (keberpihakan) di bawah sadar, lalu
mempertanyakan pemikiran refleksif yang dilakukan orang lain. Pemikir kritis
harus bersedia untuk menerima kebenaran argumen orang lain. Perdebatan tentang
argumen bisa saja menarik, tetapi tidak selalu berarti bahwa argumen sendiri
benar.
3. Mengadopsi
pendapat yang ego-sensitif. Nilai-nilai, emosi, keinginan, dan pengalaman
seorang mempengaruhi keyakinan dan kemampuan orang untuk memiliki pemikiran
yang terbuka. Pemikir kritis harus menying-kirkan kesalahan ini dan
mempertimbangkan untuk menerima informasi dari luar
4. Mengingat kembali keyakinan lama yang dipercaya
dengan kuat tetapi sekarang dittolak
5. Kecenderungan untuk berpikir kelompok, suatu keadaan
di mana keyakinan seorang dibentuk oleh pemikiran orang-orang diseki-tarnya
ketimbang apa yang ia sendiri alami atau saksikan
Menurut
Perkin (1992), berpikir kritis itu memiliki 4 karakteristik, yakni (1)
bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan kita
terima atau apa yang akan kita lakukan dengan alasan logis, (2) memakai standar
penilaian sebagai hasil dari berpikir kritis dan membuat keputusan, (3)
menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk
menentukan dan menerapkan standar, (4) mencari dan menghimpun informasi yang
dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung suatu
penilaian.
Sedangkan
Beyer (1985) mengatakan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan (1)
menentukan kredibilitas suatu sumber, (2) membedakan antara yang relevan dari
yang tidak relevan, (3) membedakan fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi
dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, (5) mengidentifikasi bias yang
ada, (6) mengidentifikasi sudut pandang, dan (7) mengevaluasi bukti yang
ditawarkan untuk mendukung pengakuan,
Berpikir
kritis dapat diajarkan melalui:(1) perkuliahan, (2) laboratorium, (3) tugas
rumah, (4) Sejumlah latihan, (5) Makalah, dan (6) ujian. Dengan demikian
berpikir kritis dapat dimasukkan dalam kurikulum dengan mempertimbangkan: (1)
siapa yang mengajarkan, (2) apa yang diajarkan, (3) kapan mengajarkan, (4)
bagaimana mengajarkan, (5) bagaimana mengevaluasi, dan (6) menyimpulkan.
Mengembangkan
Kemampuan Berpikir Kritis
Hanya sedikit hal dalam
hidup ini yang berupa hitam dan putih. Sehingga
sangat penting untuk mampu melihat segala sesuatu dari berbagai sisi hingga
mampu mencapai kesimpulan yang logis. Berpikir
kritis sangat penting dalam mempelajari materi baru dan mengaitkannya dengan apa
yang telah kita ketahui. Meskipun tidak mengetahui semuanya, kita dapat
belajar untuk bertanya secara efektif dan mencapai kesimpulan yang konsisten
dengan fakta.
sangat penting untuk mampu melihat segala sesuatu dari berbagai sisi hingga
mampu mencapai kesimpulan yang logis. Berpikir
kritis sangat penting dalam mempelajari materi baru dan mengaitkannya dengan apa
yang telah kita ketahui. Meskipun tidak mengetahui semuanya, kita dapat
belajar untuk bertanya secara efektif dan mencapai kesimpulan yang konsisten
dengan fakta.
1.
Ketika kita menjumpai fakta, gagasan atau konsep baru, pastikan kita memahami dan mengetahui istilah-istilah yang ada.
2.
Pelajari bagaimana fakta atau informasi diperoleh.
Apakah
diperoleh dari percobaan, apakah percobaan tersebut dilakukan dengan baik dan
bebas bias? Dapatkah percobaan itu diulangi?
diperoleh dari percobaan, apakah percobaan tersebut dilakukan dengan baik dan
bebas bias? Dapatkah percobaan itu diulangi?
3.
Jangan terima semua pernyataan pada secara seketika. Apakah
sumber informasi tersebut dapat dipercaya?
sumber informasi tersebut dapat dipercaya?
4.
Pertimbangkan apakah
kesimpulan mengikuti fakta? Bila fakta tidak
mendukung
kesimpulan, ajukan pertanyaan dan tentukan kenapa demikian. Apakah argumen yang
dipergunakan logis atau mengambang?
kesimpulan, ajukan pertanyaan dan tentukan kenapa demikian. Apakah argumen yang
dipergunakan logis atau mengambang?
5.
Terbuka terhadap gagasan baru.
B.
Berpikir Logis
Secara bahasa Logika berasal Dari bahasa Yunani : Logos (perkataan, alasan,
uraian, pemikiran, yang harus
memperhatikan kaidah-kaidah berpikir yang universal).
Logika = Logos + Scientia : ilmu
berpikir
Berpikir : kegiatan mental yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan atau
kebenaran.
Secara
etimologis berasal dari kata logos (Yunani) berarti akal / pikiran.
Sehingga logika banyak diartikan sebagai bidang pengetahuan yang mempelajari
tentang bagaimana cara atau aturan berpikir benar.
Sehingga
dapat disimpulkan: logika adalah pengetahuan yang mengajarkan tentang cara
berpikir untuk mencapai suatu kebenaran yang hakiki (sebenar-benarnya)
Manfaat Logika
Ø Meningkatkan daya nalar.
Ø Pengembangan diri sebagai manusia (rasionalitas).
Ø Sikap kritis (kecenderungan batin untuk mempertimbangkan sedalam-dalamnya
setiap gagasan yang dijumpai).
Ø Logika sebagai ilmu akan membawa manusia kepada prinsip pemikiran yang
benar.
Ø Meningkatkan kemampuan penalaran, sehingga dapat membedakan benar dan salah.
Ø Akan menyadarkan kita agar waspada terhadap bukti dan alasan yang diajukan.
Ø Membantu untuk bersifat kritis.
Tujuan Logika
Agar manusia
dapat menemukan hukum, patokan, pedoman berpikir, sehingga ia dapat berpikir
secara runtut dan tepat.
Runtut artinya ada ketertiban dan keteraturan dalam berpikir .
Tepat berarti tidak terjadi kesesatan dalam berpikir. Sehingga kita akan
terhindar dari kekeliruan dalam mengerti, berpendapat dan menyimpulkan sesuatu.
Cara
berpikir secara logis terbagi dua, yaitu : induksi dan deduksi
Logika Induktif
Logika
induktif digunakan untuk penarikan
kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan umum
Contoh suatu pemikiran induksi :
fakta memperlihatkan : kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, begitu pula singa, kucing dan binatang-binatang lainnya. Secara induksi dapat disimpulkan secara umum bahwa: semua binatang mempunyai mata.
fakta memperlihatkan : kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, begitu pula singa, kucing dan binatang-binatang lainnya. Secara induksi dapat disimpulkan secara umum bahwa: semua binatang mempunyai mata.
Logika deduktif
Penarikan kesimpulan
dari hal yang bersifat umum menjadi khusus yang bersifat individual.
Contoh suatu
pemikiran deduksi :
contoh berikut memakai pola berpikir
yang dinamakan silogismus, suatu pola berpikir yang sering dipakai dalam
menarik kesimpulan secara deduksi.
Ø Semua mahluk mempunyai mata (Premis
mayor)
Ø Si Polan adalah seorang mahluk (Premis
minor)
Ø Jadi si Polan mempunyai mata (Kesimpulan)
Penarikan kesimpulan secara deduksi harus memenuhi syarat:
Premis mayor harus benar
Premis minor harus benar
Kesimpulan harus sahih (mempunyai keabsahan)
Premis mayor harus benar
Premis minor harus benar
Kesimpulan harus sahih (mempunyai keabsahan)
Jumat, 28 Desember 2012
Selasa, 18 Desember 2012
Sejarah Pekembangan Ilmu Ushul Fikih
BAB I
PENDAHULUAN
Ushul fiqh merupakan suatu ilmu
yang berisikan tentang kaidah yang menjelaskan cara-cara mengistimbatkan hukum
dari dalil-dalilnya. Melalui ushul fiqh, mujtahid mampu mengistimbat hukum
islam dari sumber utamanya, yaitu Al-Quran dan Sunnah secara benar. Melalui
dari dalil-dalil yang ada dalam kajian ushul fiqh, seperti qiyas, istihsan,
istishab, 'urf dapat dijadikan landasan menetapkan persoalan yang hukum nya
tidak dijelaskan langsung oleh nash. Bahkan, dengan ilmu ini dapat dicarikan
jalan keluar menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatan bertentangan satu sama
lain.
Dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan
berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak
timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman
Rosulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti
ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rosulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan
kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan
dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai
Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Secara
praksis, ilmu ushul fiqh lahir bersama ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh lebih dahulu
dari ushul fiqh. Secara teoritis seharusnya ushul fiqh lebih awal dari ilmu
fiqh, karena ushul fiqh merupakan dari metode dari ilmu fiqh. Namun,
kenyataannya, ushul fiqh disusun secara sistematis belakangan.
Ilmu Fiqh telah lahir sejak periode sahabat,
yaitu sesudah Nabi saw wafat. Sejak saat itu, ushul fiqh sudah digunakan para
sahabat dalam melahirkan fiqh, meskipun ilmu tersebut belum dinamakan ushul
fiqh. Dengan menggunakan pendekatan maslahah, umar menghentikan pemberian zakat
kepada para muallaf yang pada masa nabi dan abu bakar diberikan. Dalam
pemahaman umar, mereka diberi zakat untuk membujuk hati mereka agar memeluk dan
komitmen kepada islam. Zaman telah berubah, alasan tersebut tidak terwujud lagi
oleh sebab itu muallaf tidak diberikan bagian zakat. Islam telah dimuliakan
allah tidak butuh kepada muallaf.
Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum
semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode maslalah atau
metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa
tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konsekuensi
logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu. ( Abu
Zahro : 12 ).
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi
pada masa sesudah tabi’in atau pada masa Al- Aimmat Al- Mujtahidin. Sejalan
dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga semakin jelas bentuknya
bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara
Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat dipercaya dari pada hadis
ahad (Abu Zahro: 12).
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan
bahwa sejak zaman Rasulullah saw,sahabat,
tabi’in
dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum
terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk
sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Ilmu Ushul Fiqh
A.1 Ushul Fiqh Masa Rasulullah
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu
Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya
wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rasulullah
SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal
dengan hadits atau sunnah.
Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah
SAW sebagai berikut:
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah)
Hasil ijtihad
Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat Islam. Hadits tentang
pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi, menunjukkan perijinan yang
luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Ketika seorang sahabat,
misalnya, dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Alquran
atau mencari jawaban dari Rasulullah, maka hal itu bisa dipandang sebagai
metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum
harus dicari dari Alquran atau bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi, cara
pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan
demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu
pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh. Prototipe-prototipe
ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah
sendiri.
Rasulullah dan para sahabat
berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad
tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan
rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari.
Contoh ijtihad yang dilakukan
oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu
shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum
dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air
pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain
tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut.
Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah
dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya,
Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala. (Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan al-Nasa’I
dari Abu Sa‘id al-Khudri)
Dalam kisah di atas, sahabat
melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah
shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam
menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada
yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad dua
sahabat tersebut.
Tidak hanya prototipe ijtihad,
prototipe qiyas pun sudah ada pada masa Rasulullah. Kisah berikut
menjadi contoh bagaimana qiyas dilakukan oleh Rasulullah.
Suatu saat seorang perempuan
datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa ibunya meninggal dunia dengan
meninggalkan hutang puasa satu bulan. Rasulullah pun kemudian berkata:
أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ.
فَقَالَتْ : نَعَمْ فَقَالَ : دَيْنٌ اللَّهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ
“Bagaimana
seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau membayarkannya?” Perempuan
tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah berkata: “Hutang kepada Allah lebih berhak
untuk ditunaikan”.(Hadits diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dari Ibnu Abbas. Hadits
dengan makna yang sama diriwayatkan oleh Muslim.)
Terhadap pertanyaan perempuan yang datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab
dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan
terhadap hutang piutang. Jadi, hukum hutang puasa orang tua yang meninggal
dunia disamakan dengan hukum hutang piutang harta. Kasus tersebut menjadi
bentuk dasar qiyas, yang dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku
oleh Imam Syafi’i.
Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan penggunaannya pada masa
Rasulullah. Semua itu belum menjadi konsep baku, melainkan hanya sebagai buah
dari pemecahan masalah praktis.
A.2 Ushul Fiqh Masa
Sahabat
Masa sahabat sebenarnya
adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah kepada
masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih
hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu
Alquran, As-Sunnah, dan Ra’yu (nalar). Petunjuk paling jelas terhadap tiga
sumber tersebut tampak dalam riwayat berikut:
عَنْ مُعَاذٍ : أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ
: كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟. قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ.
قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى كِتَابِ اللَّهِ؟ قَالَ : أَقْضِى بِسُنَّةِ
رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى سُنَّةِ
رَسُولِ اللَّهِ ..قَالَ : أَجْتَهِدُ بِرَأْيِى لاَ آلُو. قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ
فِى صَدْرِى وَقَالَ : الْحَمْدُ للَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ
لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ.
Dari Muadz: Bahwasanya
Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana kau
memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan
dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam
kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW.
Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah Rasulullah‘ Muadz
menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak
melampaui batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada
saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk
utusan Rasulullah terhadap apa yang diridloi Rasulullah.” (HR.Al-Baihaqi.
Riwayat yang hampir sama isi dan redaksinya juga dimuat dalam Musnad Ahmad bin
Hanbal, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi)
Meninggalnya
Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru
menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan
fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di
bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu
Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa
sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri.
Pada era sahabat ini
digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat
dan maslahat.
Pertama, khalifah (khulafa’
rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama
tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang
ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti oleh
para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah
momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh
sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma
yang paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan
pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah.
Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas
dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa
Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh
pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga
menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai
sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam
pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahat tersebut dapat
dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu mushaf, pengucapan talak
tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan
hukuman potong tangan diwaktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj),
pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan
berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh Alquran dan sunnah. Contoh
perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam
surat al-Baqarah 228.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga
quru‘”
Kata quru’ dalam ayat
di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar,
Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’
dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit,
dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci. Itu berarti ada perbedaan mengenai
persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada
masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan
kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumantasi untuk
mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada
pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran
yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan.
Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa
atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan
kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.
A.3 Ushul Fiqh Masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi
setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat.
Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke
berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu
Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di
Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan
dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing
daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah
tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di
daerahnya masing-masing.
Murid-murid para sahabat
tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim
non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di kalangan
tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli
hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum
Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn
Katsir.
Kecenderungan berpikir
sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah.
Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu
yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga
dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya
berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak
berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in
ini mulai muncul dua fenomena penting:
- Pemalsuan hadits
- Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits)
Dengan demikian muncul
bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan perbedaan
kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah geografis. Dua
hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab, melahirkan wacana
pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab hukum Islam.
Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang khas,
yang membedakannya dengan madzhab yang lain.
B.
Aliran-Aliran
dalam Ilmu Ushul Fiqh
Sejarah perkembangan ushul
fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak mandeg, melainkan berkembang
secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang
saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh
menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran fukaha
(Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga
aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:
1.
Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin
disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami
mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir
dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa
karya al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan
dan al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya
al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi dan
sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak dirujuk oleh para
ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa
Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya,
dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab
Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya
Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam
karya al-Amidi.
Aliran mutakallimin
mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah
karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini
banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh,
serta bersifat lintas madzhab.
2.
Aliran Hanafiyah
Aliran Hanafiyah atau aliran Fukaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab
Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan
metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid
fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh
Hanafi. Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh
yang khas madzhab Hanafi.
Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan
hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan
metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi,
kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah
tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut
pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan
persoalan hukum yang nyata.
Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk.
Kitab-kitab ushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah
antara lain:
1.
al-Fushul
fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar
al-Jashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran.
2.
Taqwim
al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
3.
Kanz
al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr
al-Islam al-Bazdawi.
4.
Ushul
Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)
3.
Aliran Gabungan
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin
dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah
dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh.
Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan
kaidah yang menjadi sandarannya.
Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan
Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-jami‘ bayn
Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul
karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis
oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya
Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul
karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib,
dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul
karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi.
Tiga aliran di atas adalah aliran utama
dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan takhrij
al-furu’ ‘ala al-ushul dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul
fiqh. Aliran takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dipandang berwujud
berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij
al-Furu’ ‘Ala al-Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’
‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus
adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara
panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah sebagaimana dilakukan
oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur
dalam Maqashid al-Syariah.
4.
Ulama-Ulama
Madzhab dan Kitab-kitab Rujukan Usul Fiqh
A.
Ulama-Ulama
Madzhab Syafi’iyyah dan Kitab-kitab Rujukan Usul Fiqh
o Ar-Risalah karangan As-Syafi'i.
o
Luma’ karya al-Syirazi,
o Al-Mustashfa karya al-Ghazali,
o Al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi,
o Al-Burhan dan al-Waraqat karya Al-Juwayni,
o Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya Al-Amidi,
o
Minhaj
al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya Al-Baidlawi
B.
Ulama-Ulama
Madzhab Hanbali dan Kitab-kitab Rujukan Usul Fiqh
o
Al-Uddah Karya Abu Ya’la
o
Rawdlah
al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir Karya Ibnu
Qudamah
o
Al-Musawwadah 3) Karya Keluarga
Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah beserta ayah dan
kakeknya
o
Mukhtashar
al-Rawdlah dan Syarh Mukhtashar al-Rawdlah
Karya
Najm
al-Din al-Thufi
C. Ulama-Ulama
Madzhab Maliki dan Kitab-kitab Rujukan Usul Fiqh
o
Muntaha
al-Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi Ilmay al-Ushul wa al- Jadal) Karya Ibnu Hajib
D. Ulama-Ulama
Madzhab Hanafi dan Kitab-kitab Rujukan Usul Fiqh
o Al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash
o
Taqwim
al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
o
Kanz
al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr
al-Islam al-Bazdawi.
o
Ushul
Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)
o
Jam’ul
Jawami karya Tajuddin Abd Wahab
5.
Hubungan
Antara Ushul Fiqih Dengan Cabang-Cabang ilmu Terkait
Setiap
suatu pembahasan ilmu dalam islam senantiasa berhubungan dengan ilmu-ilmu lain
yang dapat mendukung berdirinya ilmu tersebut, dan ilmu-ilmu yang mendukung
itupun tidak dapat berdiri sendiri.
Untuk memperdalam suatu ilmu
diperlukan bekal yang cukup oleh ilmu-ilmu lain, untuk mempermudah dalam
mempelajarinya, begitu pula halnya dengan ilmu ushul fiqih. Ilmu yang dapat
membantu ilmu ushul fiqih adalah :
a.
Ilmu Bahasa Arab
Ilmu
Ushul Fiqh bersumber dari Bahasa Arab, karena ilmu ini mempelajari teks-teks
yang ada di dalam Al Qur’an dan Al Hadits yang keduanya menggunakan bahasa
Arab. Maka otomatis jika tidak mengetahui
seluk beluk bahasa arab , dalam mempelajari dan mendalami ushul
fiqih pun tidak akan sempurna.
b.
Ilmu
Tafsir
Jika seseorang
yang telah mengetahui seluk beluk bahasa arab, maka ia akan dengan mudah
mempelajari Al-Qur’an dengan memperbandingkan berbagai macam tafsiran ayat
Qur’an, akhirnya uhul fiqih pun akan dengan mudah dipahami karena telah
mengetahui bunyi lafadz dan makna dalam Al-Qur’an dari segi arah dan tujuan.
c.
Ilmu
Tauhid
Orang yang
dangkal keimannnya
(ketauhidannya)akan ungkin tergelincir
kepada hal-hal yang menyalahi hokum atau pembelokan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai
dengan kehendak haawa nafsunya, maka ilmu tauhid akan dapat menjadi bekal dalam
mengarahkan mereka kepada yang dikehendaki syara’
d.
Ilmu
Fiqih
Ilmu Fiqih adalah
produk dari ushul fiqih, maka dengan adanya ilmu ushul fiqih setiap amal
perbuatan manusia (amaly) dapat diketahui hukumnya
BUKU LITERATUR
Abdul Wahhab Khallaf, “ Ilmu Ushul
Fiqih”, Semarang: Dina Utama,1994
Drs. Deding Siswanto,”Ushul Fiqih untuk MA kelas II”,Bandung:Armico, 1990
Imam Muhammad Abu Zahroh,”Ushuil
Fiqih”,Cairo:Dar al-fikr al-‘Arabi, 1958
Drs. Deding Siswanto,”Tarikh Tasyri”
untuk MA kelas III”,Bandung:Armico, 1990
Prof.Dr.Mukhtar Yahya, Prof.Drs.Fatchurrahman, “Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Islam, Bandung:PT.Al-ma’arif,1983
Drs.Dede Rosyada,MA,”Hukum Islam dan Pranata
Sosial”,Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.1994
Drs.H.A. Djazuli, “ Ilmu fiqih (Sebuah
Pengantar)”,Bandung:PD.Percetakan Orba Shakti.1992
Langganan:
Postingan (Atom)